17 Menit Nunggu Absen Pulang, Takkan Membuat Hidupmu Pailit

Kang Kebon (15/5/25)

Sabar Itu Investasi

Di era serba cepat ini, kesabaran seringkali menjadi barang langka, terutama ketika berhadapan dengan urusan teknologi. Namun, mari kita tarik napas sejenak dan merenungkan sebuah fakta sederhana: bersabar selama 17 menit, apalagi dalam urusan presensi digital, tidak akan membuat hidup kita pailit.

Isu presensi digital, khususnya saat jam pulang kantor, memang kerapkali menjadi momok. Bayangkan saja, ratusan bahkan ribuan pegawai berbondong-bondong mengakses sistem secara bersamaan. Rebutan akses jaringan antar sesama pengguna tak terhindarkan. Belum lagi kualitas jaringan yang kadang naik turun, serta kemampuan perangkat masing-masing pegawai dalam mengakses dan memproses data. Semua faktor ini berpotensi menimbulkan antrean digital yang terasa menjengkelkan.

Kita telah menggunakan sistem presensi digital bernama Pusaka sejak Maret 2023, dan kini, di Mei 2025, usia penggunaannya telah mencapai 2 tahun 2 bulan. Dalam kurun waktu tersebut, tentu kita telah merasakan berbagai dinamika, termasuk potensi terjadinya error personal yang menghambat proses absen. Pertanyaan sederhana pun muncul: ketika mengalami error personal dan tidak bisa absen, apa yang seharusnya dilakukan?

Sungguh mengherankan jika setelah 2 tahun lebih menggunakan sistem ini, jawaban atas pertanyaan mendasar tersebut masih menjadi polemik. Terlebih saat jam pulang kantor, di mana durasi jeda waktu seharusnya cukup panjang untuk memberikan kesempatan kepada semua pegawai melakukan presensi secara tertib. Keterbatasan mental sabar, yang mungkin masih bisa dimaklumi di pagi hari karena terburu oleh batas waktu absen maksimal, seharusnya tidak lagi menjadi alasan utama ketidakmauan untuk menunggu beberapa menit saat pulang.

Mari kita ambil contoh kasus Rabu Sore, 7 Mei 2025. Sebuah momen insidental, bukan kejadian harian yang rutin terjadi. Pertanyaannya, apakah ketidakmauan bersabar selama 17 menit di momen seperti itu benar-benar bisa berimbas pada kesulitan hidup? Tentu saja jawabannya relatif, namun dalam konteks sistem presensi, 17 menit bukanlah waktu yang signifikan untuk menimbulkan kerugian besar bagi individu.

Perlu kita pahami bersama, bahwa gangguan pada sistem presensi, seperti yang terjadi pada Rabu sore itu, seringkali bersifat error lokal. Artinya, penyebabnya bisa beragam: masalah pada mesin server di kantor, gangguan pada perangkat pribadi (HP), kendala pada penyedia layanan internet, atau bahkan, mari jujur pada diri sendiri, bisa juga bersumber dari "mental error", yaitu ketidakmauan untuk bersabar dan mengikuti antrean digital.

Terkadang, tanpa sadar, kita juga bisa terjebak dalam "playing victim", seolah-olah sistem dan pihak pengelola (seringkali diwakili oleh "Mimin") tidak peduli terhadap hak-hak kita. Padahal, seringkali gangguan yang terjadi berada di luar kendali langsung mereka dan membutuhkan waktu untuk diidentifikasi serta diatasi.

Menariknya, dalam menghadapi kendala seperti ini, seringkali muncul inisiatif lokal dari tim teknis. Bahkan, seperti yang terjadi saat ini (15 Mei 2025), aduan error massal yang disampaikan bukanlah berdasarkan surat resmi dari pusat, melainkan keterangan teknis versi lokal. Tindakan ini, meskipun berpotensi mendapat teguran dari pihak inspektorat jenderal (Irjen) karena tidak mengikuti prosedur baku, dilakukan dengan rela pasang badan demi membantu rekan-rekan. Ini bukanlah aksi sok pahlawan atau sekadar curhat, melainkan upaya tulus untuk meluruskan mindset di lapangan.

Mari kita flashback sejenak ke Senin, 10 Maret 2025. Pernah terjadi teguran dan interogasi oleh Irjen terkait tindakan serupa, yaitu menyampaikan aduan error berdasarkan temuan lokal karena surat resmi dari pusat tak kunjung diterima. Pengalaman ini seharusnya menjadi pelajaran berharga.

Maka, kembali ke pertanyaan nomor 3 dan 4, bagi kita yang mengalami gagal absen secara personal, ada solusi yang bisa diambil secara mandiri. Jika kita memilih untuk ikhlas menerima situasi yang tidak mengenakkan, maka legowo adalah kuncinya. Tidak perlu menambahkan bumbu playing victim, apalagi menyalahkan pihak lain seolah-olah mereka tidak peduli pada hak kita.

Yang jelas, perlu kita tegaskan, bahwa kejadian Rabu sore, 7 Mei 2025, bukanlah error massal yang melumpuhkan seluruh sistem. Jika pun setelah informasi ini disampaikan kemudian muncul surat resmi terkait error nasional, maka aduan tetap sebaiknya disampaikan secara personal sesuai dengan kondisi masing-masing.

Inti dari semua ini adalah menumbuhkan kesadaran bahwa kesabaran adalah sebuah investasi, bukan kerugian. Menunggu beberapa menit saat jam pulang, di tengah potensi gangguan jaringan dan sistem, tidak akan membuat hidup kita pailit. Sebaliknya, dengan bersabar, kita memberikan kesempatan kepada sistem untuk bekerja dengan baik, menghindari kepanikan yang justru memperlambat proses, dan menunjukkan kedewasaan serta profesionalisme sebagai seorang abdi negara.

Mari kita ubah mindset kita. Gangguan teknologi adalah bagian dari era digital. Alih-alih menggerutu dan menyalahkan, mari kita belajar untuk lebih adaptif, mencari solusi yang bijak, dan yang terpenting, melatih kesabaran. Ingatlah, 17 menit kesabaran hari ini bisa jadi akan menghindarkan kita dari masalah yang lebih besar di kemudian hari. Bersabar itu indah, dan percayalah, tidak akan membuat hidupmu pailit.

Post a Comment